Seni Budaya 7 Gunung
Tujuh gunung mewakili 7 kesenian di 7 wilayah berbeda di Jawa Barat, mencoba menampilkan kesenian tradisional berciri khas, yang sempat dikira hanya sekedar dongeng atau telah punah.
Sekitar 250 orang mencoba menyajikan 7 kesenian berbeda yang punya ciri khas dan keunikan yang berbeda, dalam pagelaran “Unjuk Kabisa 7 Gunung’ di Kampung Budaya Sindangbarang, Pasir Eurih, Bogor, Jawa Barat. Tak terkecuali penampilan para peserta yang miliki keragaman tapi kaya modifikasi motif, warna dan bentuk.
Misalnya saja ikat kepala. Di tanah sunda, para lelaki identik dengan ikat kepalanya, yang didominasi warna hitam, putih dan coklat. Biasanya hanya motif dan cara mengikat yang membedakan untuk menunjukkan identitas diri dan asal wilayah. Sementara para wanita, beradu warna dan motif kebaya lengkap dengan selendang serta hiasan sanggul.
Pertunjukkan diawali dengan Silat dari 3 wilayah dan gunung yang berbeda.
SILAT
Silat, menjadi seni bela diri yang sepertinya sudah dipatenkan sebagai olahraga bela diri asli Indonesia. Di Jawa Barat, seni bela diri ini berkembang perlahan dari desa ke desa, wilayah ke wilayah, secara perlahan. Mulai dari kaki gunung di Cimande hingga gunung Gede Pangrango. Secara harfiah, yang berbeda dari silat di Jawa Barat ini adalah jurus. Ada beberapa aliran yang ditampilkan dalam acara di kampung budaya sindangbarang ini. Salah satunya silat Maenpo.
Seni bela diri dari gunung gede pangrango ini, berasal dari dua kata yaitu maen yang berarti melakukan sesuatu. Sementara po dalam bahasa China berarti memukul. Silat maenpo diciptakan R. Djajaperbrata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim ini, punya ciri permainan mengandalkan kepekaan rasa yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan. Ada istilah liliwatan (penginderaan) dan peupeuhan (pukulan).
Beda lagi dengan silat Jalak Banten dari gunung salak. Seni bela diri ini dimainkan usia anak-anak hingga remaja. Ada unjuk kebolehan jurus menggunakan senjata tajam seperti golok, atau melakukan gerakan silat bersama-sama dan membentuk formasi tertentu.
Ada yang percaya, silat pertama kali dilakukan di Cimande, Jawa Barat. Seni bela diri untuk mempertahankan diri dari musuh ini, kemudian berkembang ke arah cianjur hingga garut. Dalam perkembangannya setiap daerah punya ciri masing-masing, terutama jurus. Jika ditarik benang merahnya, pembuka silat hampir sama. Yaitu mengatupkan dua telapak tangan di depan dada sembari menundukkan kepala, lalu membuka keduanya ke arah langit, layaknya sedang berdoa. Para jawara sekaligus peserta tidak memungkiri, bila silat dipengaruhi agama Islam saat proses pembuatannya.
Dalam perkembangannya sebagai bagian dari pertunjukan seni, penampilan pesilat biasanya diiringi sejumlah alat musik tradisional seperti gamelan, gendang, seruling dan gong. Irama dan tabuh musik tradisional ini sering disesuaikan dengan gerak langkah si pesilat.
SINTREN
Alkisah putra Ki Baurekso dan Dewi Rantamsari, Sulandono, memadu kasih dengan Sulasih, seorang perempuan dari Desa Kalisalak. Namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu Ki Baurekso. Sulandono pun pergi bertapa, sementara Sulasih menjadi penari. Tapi keduanya masih tetap bertemu memadu kasih namun di alam gaib. Adalah ibu Sulandana, Dewi Rantamsari, yang mengatur pertemuan tersebut, dengan memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih. Secara bersamaan, Sulandono dipanggil roh ibunya untuk bertemu Sulasih.
Kisah itu mengawali kesenian sintren, yang ditampilkan kelompok seni Sekar Laras dari Majalengka, Jawa Barat ini mewakili kesenian dari Gunung Ciremai. Namun roh bidadari hanya bisa dimasukkan ke dalam raga penari sintren yang masih dalam keadaan suci (perawan).
Seorang penari yang masih berusia belasan tahun dibuat tidak sadarkan diri, lalu diikat dengan tali dan dibungkus dengan kain putih dan kain pelapis. Badan penari lalu dibaringkan sambil didekatkan dengan kurungan ayam yang sudah ditutup dengan kain. Dikisahkan tubuh penari akan masuk dengan sendirinya ke dalam kurungan ayam dan berganti baju penari lengkap dengan kacamata hitam.
Sambil menunggu sintren selesai berpakaian, pimpinan grup sintren, Darto J. E. akan mempertontonkan atraksi debus. Misalnya saja menari di atas pecahan beling atau menyayatkan golok tajam ke bagian tubuh yang terlihat seperti tangan, lidah dan tenggorokan. Penonton sempat histeris ketika Darto menggosokkan golok tajam itu ke lidah seorang bocah laki-laki.
Sementara seorang paraji diiringi 4 penari mengitari kurungan ayam sambil membawa dupa. Atraksi debus selesai, musik pun berhenti menunggu kurungan dibuka. Penari sintren terkulai lemas dengan baju penari tapi dengan tali masih terikat. Pawang menarik kedua tangan penari sintren untuk berdiri dan mulai menari diantara 4 penari lainnya. Sintren akan bergerak meniru 4 penari yang mengelilinya diiringi alunan musik dan lagu.
Saweran sintren punya ciri khas di mana penari sintren akan langsung jatuh lemas, jika badannya terkena lemparan uang. Belum 10 menit menari banyak penonton yang antri dan penasaran menyawer sintren dengan melemparkan uang ke tubuhnya.
BENJANG, SUMO SUNDA
Riuh sorak sorai penonton mengiringi delapan orang memangku patung burung raksasa memasuki arena alun-alun kampung budaya sindangbarang. Seorang pemain mengenakan selendang dominan warna merah memulai ritual. Dua pemain yang membawa tongkat panjang seketika kerasukan dan bergerak seperti orang marah ke segala arah. Keduanya memutari arena yang telah dipagari dan sempat membuat penonton bergidik takut menjauh.
Para pemanggul patung burung pun bertindak cepat mengarahkan dua pemain yang kerasukan tersebut ke kolam lumpur. Keduanya berlari tangkas dan menceburkan diri ke dalam lumpur. Tubuhnya meliuk memutar merayap mencoba mempertahankan tongkat seperti orang yang sedang bergelut. Saat ia puas, matanya melotot menatap penonton dan puluhan kamera yang mengarah kepadanya. Ia mengerang, berteriak dan berlari ke arah penonton yang seketika buyar bergidik menjauh. Keduanya kembali ke arena alun-alun mempertontonkan kelihaian menari.
Inilah seni benjang, seni tradisional yang berkembang di kecamatan ujungberung, kabupaten bandung, jawa barat. Seni ini mewakili gunung tangkuban perahu yang menjadi ikon kabupaten bandung. Pemain benjang tak hanya lihai memperlihatkan pencak silat tapi juga bergulat. Dua pemain yang kerasukan mencari kolam lumpur. Mereka bergulat dengan tongkat yang mereka pegang, meski sesekali melirik tajam ke segala arah.
Tak sampai 10 menit, dua pemain keluar dari kolam lumpur dan kembali ke arena alun-alun. Keduanya berlari ke segala arah, sambil sesekali melotot. Pawang berusaha menaklukkan keduanya yang terus melawan. Ketiganya berdiri sejajar dengan posisi saling menahan kekuatan. Pawang pun berhasil menjatuhkan dua pemain ke tanah meski harus melakukannya dengan berguling di atas tanah berumput. Kedua pemain mulai mengerang bergantian kemudian duduk terdiam.
Tapi tak lama keduanya melompat ke segala arah. Matanya mencari-cari objek yang menarik diantara ratusan penonton. Sambil menggaruk-garuk kepala dan tubuhnya, dua pemain ini takluk ketika dikasih pisang dan langsung melahapnya termasuk kulitnya. Polah tingkah keduanya seperti layaknya binatang kera. Termasuk ketika seorang pemain membujuk seorang penonton agar bersedia memberinya makan.
Satu pemain tiba-tiba berlari ke arah imah gede (rumah kepala adat) dan menghampiri semua orang. Pemain lain tergopoh-gopoh menjaga pemain tersebut agar tidak berlaku di luar batas kepada penonton. Pawang pun kembali menarik kedua pemain untuk berganti peran. Kali ini keduanya beratraksi seperti pemain debus.
Kedua pemain memegang dua piring beling dan mengunyahnya seperti kerupuk. Sesekali wajahnya mempertontonkan kepada pengunjung, dengan mata melotot dan sesekali terpejam seperti sedang menikmati piring pecah belah.
Habis tak bersisa.
Keduanya berputar, meraung, meminta kembali bagian. Pawang dengan sigap memegang rambut pemain, membisikkan mantra, penawar raga agar mendapat jiwa yang sebenarnya. Kedua pemain pun lemas terkulai, digotong peserta benjang lain, ke pinggir lapangan. Duduk lemas terkulai, seakan lupa apa yang telah terjadi, keduanya mencoba menenangkan diri dengan sisa nafas yang tersengal-sengal.
Pawang dan peserta berdiri sejajar, mengatupkan dua telapak tangan di depan dada, haturkan sembah terima kasih dan mohon diri. Riuh tepuk tangan iringi kepergian para pemain benjang. Sebuah seni yang berkembang di tanah sunda tapi riskan punah karena tak banyak yang tahu dan paham keunikan dari seni benjang.
TOPENG BANJET
Suara gamelan mengalun diiringi suling dan gong. Seorang penari cantik maju ke tengah panggung, melenggok manis. Sepintas kita mengira ini kesenian lenong betawi karena dihadirkan dalam bentuk rancangan ruang tamu lengkap dengan satu set kursi meja tamu khas betawi.
Seketika sang penari dan musik yang mengiringi berhenti karena hardikan seorang pemain laki-laki yang memasuki arena.
Maka barulah penonton paham ini bukan lenong betawi karena hardikan bahasa sunda yang kental mengalir bertutur dari bibir si pemain.
Seni Topeng Banjet, disebut sebagai akar kesenian goyang karawang, bahkan tidak sedikit yang bertutur terpengaruh seni betawi yang dibawa dari tanah Batavia. Kesenian Topeng Banjet disebut berkembang sejak zaman kolonial dan tumbuh subur di pesisir wilayah karawang. Bahkan becandaan para pemain pun seakan tidak ada bedanya dengan celoteh pemain lenong, kecuali bahasa. Misalnya saja tebak-tebakan seperti berikut ini:
“Neng, binatang apa yang huruf ‘e’ nya aya tilu (tiga)?”
“Bebek.”
“eta (itu) mah dua, neng.”
“embek. (kambing)”
“ya elah eta mah sarua (sama).”
“trus naon (apa) atuh?”
“binatang nu hurup ‘e’ na tilu…. (sambil bernyanyi) eta… Sang bango e e e sang bangooo..”
Penonton pun tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan yang kurang mengerti bahasa sunda sekalipun ikut tertawa.
Selanjutnya cerita topeng banjet mirip cerita srimulat. Sepasang pemain tadi adalah lelakon awal yang merupakan pembantu di sebuah rumah. Maka datanglah sang juragan beserta antek-anteknya. Celoteh dan lelucon pun seakan tidak ada bedanya. Hanya saja tidak semua orang karawang ternyata pernah melihat Topeng Banjet. Bahkan ada yang mengira sudah punah atau sekedar dongeng belaka.
Dalam perkembangannya kelompok Topeng Banjet punya kreasi sendiri yang akhirnya terdiri dari tiga aliran, yaitu Baskom, Pendul dan Ali Saban. Ketiga nama ini merujuk pada sebutan pemimpin kelompok masing-masing. Kesenian dari karawang ini pun dianggap mewakili wilayah gunung Sangga Buana.
ANGKLUNG BUNCIS
Angklung merupakan alat musik bernada ganda yang secara tradisional berkembang di tanah sunda, Jawa Barat. Jenis angklung ternyata berbeda-beda. Di lingkung gunung Galunggung, Tasikmalaya, ada angklung dengan tiang nan jangkung berhiaskan warna-warni pada setiap tiangnya. Tingginya ditaksir bisa mencapai 2 meter.
Angklung-angklung jangkung ini justru dimainkan anak-anak, yang tingginya hanya setengah dari alat musik dari ruas bambu itu. Seakan ingin menghilangkan rasa berat memegang angklung, bocah-bocah ini menyeimbangkan permainan angklung jangkung dengan berlari, bersorak, saling bersahutan, sambil sesekali membentuk formasi tari berbentuk lingkaran, atau saling adu silang barisan. Sementara 6 penari wanita mengiringi dengan lenggak lenggok manis, sambil sesekali mempermainkan selendang yang membelit panggulnya.
Inilah Angklung Buncis, kesenian yang masih berkembang dan diketahui sudah ada sejak tahun 1925, di desa Margalayu, kecamatan Manunjaya. Awalnya Angklung Buncis digunakan sebagai pengiring panen padi, dan berkembang di tahun 1989 menjadi kesenian hiburan untuk berbagai macam hajatan, termasuk digabung dengan kesenian kuda lumping dan dog dog.
Nama ‘Angklung Buncis’ diambil dari lagu utama yang selalu dimainkan pada setiap penampilannya yaitu ‘Cis Kacang Buncis’. Teriakan ceria, baik lagu maupun sahut-sahutan, para pemain punya tujuan beragam. Misalnya saja dalam hajatan khitanan, suara para pemain dimaksudkan untuk menenangkan hati anak-anak yang akan dikhitan agar lepas dari kekhawatiran, larut menyanyi dan bergoyang bersama para pemain angklung buncis.
Pemain usia belia ini pun patut diacungi jempol dengan pelbagai corak kesenian yang dikuasai. Usai unjuk kebolehan dengan angklung yang jangkung, anak-anak langsung berlari ke panggung memegang alat musik tradisional. Mulai dari gendang, gong dan gamelan. Sambil bergoyang seragam, mereka menari dan saling bersahutan menarik perhatian puluhan lensa para fotografer yang hendak mengabadikan wajah-wajah polos yang tengah bersuka ria.
Ada juga sesi duel atau adu silat. Dua remaja tanggung itu tidak tanggung-tanggung menunjukkan kepiawaiannya saling menjatuhkan lawan lewat jurus silat. Tendangan, pukulan, memiting, hingga kelihaian menangkis serangan senjata tajam, sempat beberapa kali membuat penonton menahan nafas. Ditambah lagi ekspresi serius wajah keduanya yang saling jotos dan bergantian jatuh bangun mencoba saling menjatuhkan.
SURAK IBRA
Semangat gotong royong dan rasa persatuan kesatuan menjadi dasar terciptanya sebuah kesenian bernama ‘Surak Ibra’. Kesenian ini diciptakan oleh RD Jaya Diwangsa, putra RD Wangsa Muhammad, yang dikenal juga dengan nama Pangeran Papak, pada tahun 1910. Beliau dikenal sebagai ‘kuwu’ karena kerap kesal dengan kesewenang-wenangan pemerintahan Belanda terhadap rakyat Cinunuk. Kesenian di lingkung Gunung Guntur, Garut ini, sengaja diciptakan sebagai bentuk sindiran terhadap Belanda. Oleh Cahridin Al-Hasanah, kesenian ini disebut juga kesenian boboyangan yang kini dikenal sebagai ‘Surak Ibra’.
Hiruk pikuk tetabuhan alat musik tradisional berpadu dengan suara para pemain saling sahut memasuki arena alun-alun. Kesenian ini sangat sederhana tapi mengundang mata untuk melihat karena warna-warni pakaian belasan pemain. Sementara alat yang digunakan hanya seperti dua bonggol bambu, kentongan bamboo, angklung, dan suling. Kata-kata yang dilontarkan pun terdengar sederhana tapi sesuai dengan irama musik dan mengalun seperti musik acapella.
Para pemain akan membentuk lingkaran yang mirip arena tari kecak asal bali. Di luar lingkaran akan berjajar pemain musik, dengan baju yang berbeda warna, yang akan lalu lalang sambil membunyikan alat musik yang mereka bawa. Sementara di tengah lingkaran, ada seorang pemain yang mengenakan baju beda sendiri, yang akan menari mengeliling lingkaran, sambil sesekali menyambangi para pemain di lingkaran.
Kesenian ini berakhir, dengan diusungnya si pemain tunggal di tengah lingkaran, yang sesekali dilempar ke atas sebagai wujud kegembiraan dan penghormatan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata lain dari ‘seni’ adalah halus. Dengan kata lain, seni merupakan keahlian yang bermutu dan dinilai dari kehalusan dan keindahannya. Silat, Sintren, Benjang, Topeng Banjet, Angklung Buncis dan Surak Ibra, hanyalah segelintir kecil dari hasil cipta, rasa, karsa manusia yang berbalut budaya di Indonesia, yang punya khas, ciri dan keunikan tersendiri. Ratusan pemain tidak sekedar berharap uang tampil dari pertunjukan mereka, tapi juga pelestarian dalam arti yang sebenarnya.
Karena hidup dari seni belum bisa menjamin kehidupan layak seutuhnya tapi selamanya bisa diwariskan kepada keturunan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar