Seni Budaya 7 Gunung
Jawa barat merupakan satu dari 33 provinsi di Indonesia yang
memiliki topografi dan geografi dilingkung gunung. Setidaknya tercatat
ada 33 gunung yang memiliki nama terletak di Jawa Barat. Di balik
puluhan gunung itu, sekelompok orang masih mencoba mempertahankan seni
budaya leluhur yang diperoleh dari hasil cipta, rasa dan karsa, sejak
puluhan bahkan ratusan tahun silam.
Tujuh gunung mewakili 7 kesenian di 7 wilayah berbeda di Jawa Barat,
mencoba menampilkan kesenian tradisional berciri khas, yang sempat
dikira hanya sekedar dongeng atau telah punah.
Sekitar 250 orang mencoba menyajikan 7 kesenian berbeda yang punya
ciri khas dan keunikan yang berbeda, dalam pagelaran “Unjuk Kabisa 7
Gunung’ di Kampung Budaya Sindangbarang, Pasir Eurih, Bogor, Jawa Barat.
Tak terkecuali penampilan para peserta yang miliki keragaman tapi kaya
modifikasi motif, warna dan bentuk.
Misalnya saja ikat kepala. Di tanah sunda, para lelaki identik dengan
ikat kepalanya, yang didominasi warna hitam, putih dan coklat. Biasanya
hanya motif dan cara mengikat yang membedakan untuk menunjukkan
identitas diri dan asal wilayah. Sementara para wanita, beradu warna dan
motif kebaya lengkap dengan selendang serta hiasan sanggul.
Pertunjukkan diawali dengan Silat dari 3 wilayah dan gunung yang berbeda.
SILAT
Silat, menjadi seni bela diri yang sepertinya sudah dipatenkan
sebagai olahraga bela diri asli Indonesia. Di Jawa Barat, seni bela diri
ini berkembang perlahan dari desa ke desa, wilayah ke wilayah, secara
perlahan. Mulai dari kaki gunung di Cimande hingga gunung Gede
Pangrango. Secara harfiah, yang berbeda dari silat di Jawa Barat ini
adalah jurus. Ada beberapa aliran yang ditampilkan dalam acara di
kampung budaya sindangbarang ini. Salah satunya silat Maenpo.
Seni bela diri dari gunung gede pangrango ini, berasal dari dua kata
yaitu maen yang berarti melakukan sesuatu. Sementara po dalam bahasa
China berarti memukul. Silat maenpo diciptakan R. Djajaperbrata atau
dikenal dengan nama R. H. Ibrahim ini, punya ciri permainan mengandalkan
kepekaan rasa yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota
badan saling bersentuhan. Ada istilah liliwatan (penginderaan) dan
peupeuhan (pukulan).
Beda lagi dengan silat Jalak Banten dari gunung salak. Seni bela diri
ini dimainkan usia anak-anak hingga remaja. Ada unjuk kebolehan jurus
menggunakan senjata tajam seperti golok, atau melakukan gerakan silat
bersama-sama dan membentuk formasi tertentu.
Ada yang percaya, silat pertama kali dilakukan di Cimande, Jawa
Barat. Seni bela diri untuk mempertahankan diri dari musuh ini, kemudian
berkembang ke arah cianjur hingga garut. Dalam perkembangannya setiap
daerah punya ciri masing-masing, terutama jurus. Jika ditarik benang
merahnya, pembuka silat hampir sama. Yaitu mengatupkan dua telapak
tangan di depan dada sembari menundukkan kepala, lalu membuka keduanya
ke arah langit, layaknya sedang berdoa. Para jawara sekaligus peserta
tidak memungkiri, bila silat dipengaruhi agama Islam saat proses
pembuatannya.
Dalam perkembangannya sebagai bagian dari pertunjukan seni,
penampilan pesilat biasanya diiringi sejumlah alat musik tradisional
seperti gamelan, gendang, seruling dan gong. Irama dan tabuh musik
tradisional ini sering disesuaikan dengan gerak langkah si pesilat.
SINTREN
Alkisah putra Ki Baurekso dan Dewi Rantamsari, Sulandono, memadu
kasih dengan Sulasih, seorang perempuan dari Desa Kalisalak. Namun
hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu Ki Baurekso. Sulandono pun
pergi bertapa, sementara Sulasih menjadi penari. Tapi keduanya masih
tetap bertemu memadu kasih namun di alam gaib. Adalah ibu Sulandana,
Dewi Rantamsari, yang mengatur pertemuan tersebut, dengan memasukkan roh
bidadari ke tubuh Sulasih. Secara bersamaan, Sulandono dipanggil roh
ibunya untuk bertemu Sulasih.
Kisah itu mengawali kesenian sintren, yang ditampilkan kelompok seni
Sekar Laras dari Majalengka, Jawa Barat ini mewakili kesenian dari
Gunung Ciremai. Namun roh bidadari hanya bisa dimasukkan ke dalam raga
penari sintren yang masih dalam keadaan suci (perawan).
Seorang penari yang masih berusia belasan tahun dibuat tidak sadarkan
diri, lalu diikat dengan tali dan dibungkus dengan kain putih dan kain
pelapis. Badan penari lalu dibaringkan sambil didekatkan dengan kurungan
ayam yang sudah ditutup dengan kain. Dikisahkan tubuh penari akan masuk
dengan sendirinya ke dalam kurungan ayam dan berganti baju penari
lengkap dengan kacamata hitam.
Sambil menunggu sintren selesai berpakaian, pimpinan grup sintren,
Darto J. E. akan mempertontonkan atraksi debus. Misalnya saja menari di
atas pecahan beling atau menyayatkan golok tajam ke bagian tubuh yang
terlihat seperti tangan, lidah dan tenggorokan. Penonton sempat histeris
ketika Darto menggosokkan golok tajam itu ke lidah seorang bocah
laki-laki.
Sementara seorang paraji diiringi 4 penari mengitari kurungan ayam
sambil membawa dupa. Atraksi debus selesai, musik pun berhenti menunggu
kurungan dibuka. Penari sintren terkulai lemas dengan baju penari tapi
dengan tali masih terikat. Pawang menarik kedua tangan penari sintren
untuk berdiri dan mulai menari diantara 4 penari lainnya. Sintren akan
bergerak meniru 4 penari yang mengelilinya diiringi alunan musik dan
lagu.
Saweran sintren punya ciri khas di mana penari sintren akan langsung
jatuh lemas, jika badannya terkena lemparan uang. Belum 10 menit menari
banyak penonton yang antri dan penasaran menyawer sintren dengan
melemparkan uang ke tubuhnya.
BENJANG, SUMO SUNDA
Riuh sorak sorai penonton mengiringi delapan orang memangku patung
burung raksasa memasuki arena alun-alun kampung budaya sindangbarang.
Seorang pemain mengenakan selendang dominan warna merah memulai ritual.
Dua pemain yang membawa tongkat panjang seketika kerasukan dan bergerak
seperti orang marah ke segala arah. Keduanya memutari arena yang telah
dipagari dan sempat membuat penonton bergidik takut menjauh.
Para pemanggul patung burung pun bertindak cepat mengarahkan dua
pemain yang kerasukan tersebut ke kolam lumpur. Keduanya berlari tangkas
dan menceburkan diri ke dalam lumpur. Tubuhnya meliuk memutar merayap
mencoba mempertahankan tongkat seperti orang yang sedang bergelut. Saat
ia puas, matanya melotot menatap penonton dan puluhan kamera yang
mengarah kepadanya. Ia mengerang, berteriak dan berlari ke arah penonton
yang seketika buyar bergidik menjauh. Keduanya kembali ke arena
alun-alun mempertontonkan kelihaian menari.
Inilah seni benjang, seni tradisional yang berkembang di kecamatan
ujungberung, kabupaten bandung, jawa barat. Seni ini mewakili gunung
tangkuban perahu yang menjadi ikon kabupaten bandung. Pemain benjang tak
hanya lihai memperlihatkan pencak silat tapi juga bergulat. Dua pemain
yang kerasukan mencari kolam lumpur. Mereka bergulat dengan tongkat yang
mereka pegang, meski sesekali melirik tajam ke segala arah.
Tak sampai 10 menit, dua pemain keluar dari kolam lumpur dan kembali
ke arena alun-alun. Keduanya berlari ke segala arah, sambil sesekali
melotot. Pawang berusaha menaklukkan keduanya yang terus melawan.
Ketiganya berdiri sejajar dengan posisi saling menahan kekuatan. Pawang
pun berhasil menjatuhkan dua pemain ke tanah meski harus melakukannya
dengan berguling di atas tanah berumput. Kedua pemain mulai mengerang
bergantian kemudian duduk terdiam.
Tapi tak lama keduanya melompat ke segala arah. Matanya mencari-cari
objek yang menarik diantara ratusan penonton. Sambil menggaruk-garuk
kepala dan tubuhnya, dua pemain ini takluk ketika dikasih pisang dan
langsung melahapnya termasuk kulitnya. Polah tingkah keduanya seperti
layaknya binatang kera. Termasuk ketika seorang pemain membujuk seorang
penonton agar bersedia memberinya makan.
Satu pemain tiba-tiba berlari ke arah imah gede (rumah kepala adat)
dan menghampiri semua orang. Pemain lain tergopoh-gopoh menjaga pemain
tersebut agar tidak berlaku di luar batas kepada penonton. Pawang pun
kembali menarik kedua pemain untuk berganti peran. Kali ini keduanya
beratraksi seperti pemain debus.
Kedua pemain memegang dua piring beling dan mengunyahnya seperti
kerupuk. Sesekali wajahnya mempertontonkan kepada pengunjung, dengan
mata melotot dan sesekali terpejam seperti sedang menikmati piring pecah
belah.
Habis tak bersisa.
Keduanya berputar, meraung, meminta kembali bagian. Pawang dengan
sigap memegang rambut pemain, membisikkan mantra, penawar raga agar
mendapat jiwa yang sebenarnya. Kedua pemain pun lemas terkulai, digotong
peserta benjang lain, ke pinggir lapangan. Duduk lemas terkulai, seakan
lupa apa yang telah terjadi, keduanya mencoba menenangkan diri dengan
sisa nafas yang tersengal-sengal.
Pawang dan peserta berdiri sejajar, mengatupkan dua telapak tangan di
depan dada, haturkan sembah terima kasih dan mohon diri. Riuh tepuk
tangan iringi kepergian para pemain benjang. Sebuah seni yang berkembang
di tanah sunda tapi riskan punah karena tak banyak yang tahu dan paham
keunikan dari seni benjang.
TOPENG BANJET
Suara gamelan mengalun diiringi suling dan gong. Seorang penari
cantik maju ke tengah panggung, melenggok manis. Sepintas kita mengira
ini kesenian lenong betawi karena dihadirkan dalam bentuk rancangan
ruang tamu lengkap dengan satu set kursi meja tamu khas betawi.
Seketika sang penari dan musik yang mengiringi berhenti karena hardikan seorang pemain laki-laki yang memasuki arena.
Maka barulah penonton paham ini bukan lenong betawi karena hardikan
bahasa sunda yang kental mengalir bertutur dari bibir si pemain.
Seni Topeng Banjet, disebut sebagai akar kesenian goyang karawang,
bahkan tidak sedikit yang bertutur terpengaruh seni betawi yang dibawa
dari tanah Batavia. Kesenian Topeng Banjet disebut berkembang sejak
zaman kolonial dan tumbuh subur di pesisir wilayah karawang. Bahkan
becandaan para pemain pun seakan tidak ada bedanya dengan celoteh pemain
lenong, kecuali bahasa. Misalnya saja tebak-tebakan seperti berikut
ini:
“Neng, binatang apa yang huruf ‘e’ nya aya tilu (tiga)?”
“Bebek.”
“eta (itu) mah dua, neng.”
“embek. (kambing)”
“ya elah eta mah sarua (sama).”
“trus naon (apa) atuh?”
“binatang nu hurup ‘e’ na tilu…. (sambil bernyanyi) eta… Sang bango e e e sang bangooo..”
Penonton pun tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan yang kurang mengerti bahasa sunda sekalipun ikut tertawa.
Selanjutnya cerita topeng banjet mirip cerita srimulat. Sepasang
pemain tadi adalah lelakon awal yang merupakan pembantu di sebuah rumah.
Maka datanglah sang juragan beserta antek-anteknya. Celoteh dan lelucon
pun seakan tidak ada bedanya. Hanya saja tidak semua orang karawang
ternyata pernah melihat Topeng Banjet. Bahkan ada yang mengira sudah
punah atau sekedar dongeng belaka.
Dalam perkembangannya kelompok Topeng Banjet punya kreasi sendiri
yang akhirnya terdiri dari tiga aliran, yaitu Baskom, Pendul dan Ali
Saban. Ketiga nama ini merujuk pada sebutan pemimpin kelompok
masing-masing. Kesenian dari karawang ini pun dianggap mewakili wilayah
gunung Sangga Buana.
ANGKLUNG BUNCIS
Angklung merupakan alat musik bernada ganda yang secara tradisional
berkembang di tanah sunda, Jawa Barat. Jenis angklung ternyata
berbeda-beda. Di lingkung gunung Galunggung, Tasikmalaya, ada angklung
dengan tiang nan jangkung berhiaskan warna-warni pada setiap tiangnya.
Tingginya ditaksir bisa mencapai 2 meter.
Angklung-angklung jangkung ini justru dimainkan anak-anak, yang
tingginya hanya setengah dari alat musik dari ruas bambu itu. Seakan
ingin menghilangkan rasa berat memegang angklung, bocah-bocah ini
menyeimbangkan permainan angklung jangkung dengan berlari, bersorak,
saling bersahutan, sambil sesekali membentuk formasi tari berbentuk
lingkaran, atau saling adu silang barisan. Sementara 6 penari wanita
mengiringi dengan lenggak lenggok manis, sambil sesekali mempermainkan
selendang yang membelit panggulnya.
Inilah Angklung Buncis, kesenian yang masih berkembang dan diketahui
sudah ada sejak tahun 1925, di desa Margalayu, kecamatan Manunjaya.
Awalnya Angklung Buncis digunakan sebagai pengiring panen padi, dan
berkembang di tahun 1989 menjadi kesenian hiburan untuk berbagai macam
hajatan, termasuk digabung dengan kesenian kuda lumping dan dog dog.
Nama ‘Angklung Buncis’ diambil dari lagu utama yang selalu dimainkan
pada setiap penampilannya yaitu ‘Cis Kacang Buncis’. Teriakan ceria,
baik lagu maupun sahut-sahutan, para pemain punya tujuan beragam.
Misalnya saja dalam hajatan khitanan, suara para pemain dimaksudkan
untuk menenangkan hati anak-anak yang akan dikhitan agar lepas dari
kekhawatiran, larut menyanyi dan bergoyang bersama para pemain angklung
buncis.
Pemain usia belia ini pun patut diacungi jempol dengan pelbagai corak
kesenian yang dikuasai. Usai unjuk kebolehan dengan angklung yang
jangkung, anak-anak langsung berlari ke panggung memegang alat musik
tradisional. Mulai dari gendang, gong dan gamelan. Sambil bergoyang
seragam, mereka menari dan saling bersahutan menarik perhatian puluhan
lensa para fotografer yang hendak mengabadikan wajah-wajah polos yang
tengah bersuka ria.
Ada juga sesi duel atau adu silat. Dua remaja tanggung itu tidak
tanggung-tanggung menunjukkan kepiawaiannya saling menjatuhkan lawan
lewat jurus silat. Tendangan, pukulan, memiting, hingga kelihaian
menangkis serangan senjata tajam, sempat beberapa kali membuat penonton
menahan nafas. Ditambah lagi ekspresi serius wajah keduanya yang saling
jotos dan bergantian jatuh bangun mencoba saling menjatuhkan.
SURAK IBRA
Semangat gotong royong dan rasa persatuan kesatuan menjadi dasar
terciptanya sebuah kesenian bernama ‘Surak Ibra’. Kesenian ini
diciptakan oleh RD Jaya Diwangsa, putra RD Wangsa Muhammad, yang dikenal
juga dengan nama Pangeran Papak, pada tahun 1910. Beliau dikenal
sebagai ‘kuwu’ karena kerap kesal dengan kesewenang-wenangan
pemerintahan Belanda terhadap rakyat Cinunuk. Kesenian di lingkung
Gunung Guntur, Garut ini, sengaja diciptakan sebagai bentuk sindiran
terhadap Belanda. Oleh Cahridin Al-Hasanah, kesenian ini disebut juga
kesenian boboyangan yang kini dikenal sebagai ‘Surak Ibra’.
Hiruk pikuk tetabuhan alat musik tradisional berpadu dengan suara
para pemain saling sahut memasuki arena alun-alun. Kesenian ini sangat
sederhana tapi mengundang mata untuk melihat karena warna-warni pakaian
belasan pemain. Sementara alat yang digunakan hanya seperti dua bonggol
bambu, kentongan bamboo, angklung, dan suling. Kata-kata yang
dilontarkan pun terdengar sederhana tapi sesuai dengan irama musik dan
mengalun seperti musik acapella.
Para pemain akan membentuk lingkaran yang mirip arena tari kecak asal
bali. Di luar lingkaran akan berjajar pemain musik, dengan baju yang
berbeda warna, yang akan lalu lalang sambil membunyikan alat musik yang
mereka bawa. Sementara di tengah lingkaran, ada seorang pemain yang
mengenakan baju beda sendiri, yang akan menari mengeliling lingkaran,
sambil sesekali menyambangi para pemain di lingkaran.
Kesenian ini berakhir, dengan diusungnya si pemain tunggal di tengah
lingkaran, yang sesekali dilempar ke atas sebagai wujud kegembiraan dan
penghormatan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata lain dari ‘seni’ adalah
halus. Dengan kata lain, seni merupakan keahlian yang bermutu dan
dinilai dari kehalusan dan keindahannya. Silat, Sintren, Benjang, Topeng
Banjet, Angklung Buncis dan Surak Ibra, hanyalah segelintir kecil dari
hasil cipta, rasa, karsa manusia yang berbalut budaya di Indonesia, yang
punya khas, ciri dan keunikan tersendiri. Ratusan pemain tidak sekedar
berharap uang tampil dari pertunjukan mereka, tapi juga pelestarian
dalam arti yang sebenarnya.
Karena hidup dari seni belum bisa menjamin kehidupan layak seutuhnya tapi selamanya bisa diwariskan kepada keturunan mereka.